Cerita ini berlatar di SMA. Terjadi pada
tahun 2012. Cerita ini berdasarkan kisah nyata, hanya saja aku tambahi dengan
sedikit bumbu-bumbu supaya ceritanya lebih menarik. Jika ada kesamaan
nama tokoh, tempat kejadian, ataupun cerita, itu adalah
kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan. Jangan lupa baca Cerita
Sekolah sebelumnya, Sebuah Panggilan. Selamat membaca..
Hari demi hari aku lalui di sekolah dan
tidak ada yang spesial. Sudah ku jelajahi setiap penjuru ruanganpun tidak juga
menemukan hal yang mengejutkan. Hanya ada antusias yang menyeruak, efek karena
aku itu siswa baru yang selalu ingin tahu sebenarnya apa yang akan aku pelajari
di masa sma. Semangat belajar ini paling juga lambat laun menyusut, lalu hanya
akan tumbuh saat musim ujian tiba. Masih ku cari-cari, sesuatu yang besar di
sini. Masa smpku cukup indah dengan di hiasi berbagai kisah asmara, haha.
Terlalu tinggi aku menyebutnya sebagai kisah asmara, apalagi kalau aku sebut
itu adalah kisah cinta. Paling tidak aku bisa mengambil hikmah dari masa lalu
itu untuk menjalani hari sekarang dan yang akan datang.
Ada yang tidak sengaja menembus pori-pori
kemudian bertamu dipikiranku. Perhatianku tersita oleh seseorang. Maulina
namanya, aku lebih suka memanggilnya Lina. Dia itu kakak kelasku di smp dan
ternyata sma pun juga. Dia putri dari guru bahasa inggrisku sewaktu smp. Sejak
waktu mengenalkanku padanya, aku sudah menaruh kagum dengannya. Dia sangat
istimewa dalam hal akademik, pandai bicara, dan berjiwa sosial tinggi. Berbagai
penghargaan kerap kali ia dapat. Namanya sudah sangat akrab di telinga semua
kalangan siswa karena prestasinya. Jabatan ketua osis pun ia duduki sewaktu
smp, yang berarti dia juga dipercaya oleh teman-temannya untuk memimpin sebuah
organisasi tertinggi di smpku. Parasnya itu, semakin meyakinkanku bahwa itulah
definisi dari yang namanya "Cantik". Menurutku ya cantik itu dilihat
dari banyak aspek, bukan hanya apa yang terlihat oleh mata saja. Aku pribadi
adalah siswa yang hanya mengemban predikat biasa, lantas mengaguminya saja
adalah hal yang paling masuk akal. Bisa berkenalan dengannya itu kebetulan yang
luar biasa. Ibunya adalah guru bahasa inggrisku, beliau sangat membuatku nyaman
dalam suasana belajar di kelas, namun sayangnya aku tidak pandai berbahasa
inggris sehingga nilaiku tidak terlalu bagus di mata pelajaran tersebut, lantas
semakin menciptakan sekat antara aku dan Lina. Beberapa kali Tuhan memberi
kesempatan untukku bersua temu dengan Lina meski hanya berpapasan, ketika itu
bisa melahirkan sebuah percakapan, walaupun obrolan kecil saja, itu membuat
suasana bagus dalam diriku. Tidak ada satupun darinya yang bisa mematahkan
predikat "Cantik", yang aku sematkan untuknya sejak kali pertama aku
mengetahui gaung ketenarannya.
Di masa putih abu-abu, dia kembali menjadi
kakak kelasku. Kesempatanku untuk bisa mengenalnya lebih dekat. Dia lahir
Desember 1996 dan aku Februari 1997. Seperti berbeda 1 tahun, padahal hanya 2
bulan saja. Mengetahui fakta itu memunculkan sesuatu yang berbeda dalam sisi
lainku. "Ah ternyata dia seusia denganku", pikirku dalam benak. Aku
seperti tidak ingin melewatkan kesempatan yang sudah diberikan untuk kedua
kalinya.
Beberapa orang berkata bahwa diriku bisa
memberikan saran atau jawaban yang baik saat merespon sebuah cerita. Singkatnya,
enak diajak diskusi. Padahal aku hanya menjawabnya dengan mencoba menjadi
seseorang yang mempunyai cerita itu. Mendengar dan membaca lebih banyak
daripada bicara, mungkin bisa melahirkan jawaban-jawaban presisi saat diminta.
Sedang mempekerjakan mulut lebih banyak daripada telinga dan mata, sangat besar
kemungkinan melahirkan jawaban-jawaban yang prematur. Aku bersyukur jika
jawabanku bisa memberikan rasa tenang untuk si pencerita. Tanpa aku duga, Lina
beberapa kali membagi sebuah cerita. Lambat laun membentuk sebuah komunikasi
yang bisa aku sebut intensif. Mungkin benih perasaan nyaman itu sudah mulai
tertanam pada dirinya akan diriku, itu hanya perkiraanku saja, tapi aku menaruh
harap benih itu dapat tumbuh. Jika benar dia merasa nyaman denganku dan aku pun
sangat mengaguminya, mungkin suatu saat akan ada tanggal yang bersejarah untuk
kita berdua. Aku berangan hal itu terjadi, karena bagiku dia itu sosok wanita
yang menjadi wujud dari definisi "Cantik". Jadi, aku sangat bersyukur
jika suatu saat bisa menjadi nyata untuk perihal yang aku gantung dalam
angan-angan itu.
Suatu hari, ada sebuah perlombaan yang
akan digelar, Festival Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) tahun 2012 tingkat
kota. Lomba seni yang mempertemukan wakil-wakil antarsma sekota Tegal. Tiba-tiba
seorang guru di SMA-ku, yang mana beliau biasa dipanggil Bu Nana, memanggilku :
"Kamu Adit ya ? Ikut lomba puisi
FLS2N ya ?"
"Wah bu, saya tidak bisa berpuisi
bu"
"Kata Maulina kamu bisa loh, nanti
kamu peserta laki-laki, Maulina peserta perempuannya"
"Oh kalau begitu yasudah bu, nanti
saya coba ikut"
Lina menyimpulkan aku pandai berpuisi. Dia
menyimpulkan begitu karena menurutnya aku pandai membuat kalimat. Ya beberapa
kali memang aku buat satu bait puisi yang jantungnya adalah namanya. Sebenarnya
aku tidak begitu tertarik dengan lombanya, yang membuat aku tertarik karena
lomba tersebut bisa aku ikuti bersamanya. "kalau aku bisa juara, bisa jadi
aku makin keren dimatanya", gumam dalam hatiku. "Jangan sampai
lewatkan kesempatan ini", lanjut bisik sisi lainku. Siapa tau ini bisa
membuka jalan, yang mana bisa mengikis gap yang menurutku sangat jauh antara
aku dan Lina. Mempertemukan kata “mungkin” dengan semua angan-angan yang ku
gantung.
Sepulang sekolah, situasi mempertemukan
aku dengannya.
"Kenapa sih kok aku direkomendasikan
olehmu untuk ikut lomba puisi ?", ucapku sepulang sekolah ke Lina.
"Kamu itu punya bakat, sayang kalau
gak kamu pakai. Lagipula kalau juara, sertifikatnya penting buat daftar kuliah
nanti", jawabnya sembari menatapku penuh yakin. Tanpa ia sadari, ia
menanam kepercayaan diri supaya aku menjadi pujangga.
Hari itu mengubah segalanya, aku menjadi
sering membaca puisi-puisi dari penyair-penyair terkenal tanah air. Chairil
Anwar, W.S. Rendra, dan Taufiq Ismail adalah penyair yang karyanya aku makan
setiap hari. Ternyata para penyair itu sungguh keren, mereka benar-benar merdeka
dalam bercerita. Rentetan majas dalam syair-syairnya membuat sebuah karya
rasanya semakin hidup, seolah barisan kata itu berhasil membuat si pembacanya
mengikuti. Aku pun mencoba membuat puisi-puisi dengan tema kepahlawanan ataupun
kemerdekaan, karena itu tema yang kemungkinan akan ada dalam lomba. Setiap hari
jari jemariku seolah terbiasa untuk slalu menghubungi Lina dengan alasan
membicarakan topik lomba puisi itu. Aku senang karena tidak perlu memutar otak
memikirkan topik pembicaraan, sekaligus ini bisa menjadi alasan agar aku tetap
berkomunikasi dengan dirinya. Setiap kali aku selesai membuat sebuah puisi, aku
meminta Lina untuk berpendapat, dia benar-benar orang yang cerdas, dia pasti
memberi kritik dan saran yang sangat membangun. Olehnya, aku merasa terkoreksi
dan lengkap.
Singkat cerita, lomba yang aku
tunggu-tunggu akhirnya digelar. Tempatnya di sekolah tetangga, yaitu SMA 1
Tegal. Aku berangkat dengan Lina. Pagi itu mentari dengan gagah berdiri di
singgasananya, ada yang tidak mau kalah, rambut disekujur tanganku pun ikut
berdiri akibat detak jantung yang semakin tak terkendali. Lomba ini bukan hanya
disaksikan oleh pesaing dari lain sekolah saja, namun orang yang selama ini
nyata-nyata punya tempat khusus dipikiran juga datang mengisi salah satu bangku
dihadapan panggung. Sepertinya ini yang menciptakan nuansa menegangkan.
Nama cabang lomba yang aku dan Lina ikuti
adalah Cipta Baca Puisi. Diawali dengan menciptakan puisi karya sendiri dan pastinya
orisinil, kemudian membacakannya di depan juri, peserta lain, dan bagiku
ditambah dengan adanya satu orang teristimewa. Lomba ini terbagi ke dalam 2
kelompok, putra dan putri. Masing-masing juara 1 dari putra dan putri akan
mewakili kota Tegal di tingkat provinsi.
Waktu perlombaan dimulai, semua peserta
menciptakan puisi terbaik buah karya dari kreativitas pemikiran pribadi masing-masing.
Karya harus orisinil dan sesuai dengan tema yang dilombakan. Sepanjang tangan
menari diatas kertas, pikiranku membuka-buka kembali kalimat-kalimat yang
sedari kemarin aku siapkan, dengan mengikutsertakan saran dan kritik yang Lina
pernah beri. 2 Jam semua peserta berkarya. Waktu yang cukup bagiku untuk
mengatur aura ketegangan. Tak jarang Lina dengan diam saja sudah bisa membuat
kepalaku menengok, entah magnet macam apa yang sudah terpasang padanya sehingga
mataku bisa terpenjara dalam memperhatikannya. Aku justru berniat menciptakan
puisi terbaik bukan karena ingin menjadi pemenang, melainkan agar pribadi
semakin membuat Lina tertarik. Mendapat perhatian Lina lebih utama ketimbang
perhatian juri.
"nggggg Waktu habis ngggg !",
ucap panitia didepan sebuah microphone yang suaranya menyeruak
kebisingan.
Selesailah sudah satu karya bertema
nasionalisme yang paling tidak secara formal diakui oleh publik. Entah bagus
atau tidak, itu penilaian juri, yang jelas saat ini tinggal aku memikirkan cara
membawakannya. Semua peserta diberikan waktu istirahat selama 1 jam. Bagi
peserta lain, mungkin memang pas bahwa ini disebut dengan waktu istirahat,
bagiku tidak, sebab disini ada Lina, maka secara otomatis otakku akan terus
berputar untuk mencari topik pembicaraan. Aku merasa, ternyata mengobrol dengan
Lina itu menyebabkan kecanduan. Bercengkerama soal asmara seperti berenang di
lautan, aku akan tenggelam jika gugup, atau aku tetap tenang dan bisa berenang
sejauh mungkin.
Tanpa terasa, waktu istirahat selesailah
sudah. Saatnya aku dan Lina menyuarakan puisi yang telah kami buat di depan
para juri. Peserta putri membacakan puisinya terlebih dahulu, setelah itu
barulah peserta putra. Tidak ada peserta yang menarik perhatianku, kecuali
Lina. Bahkan belum membaca karyanya saja aku sudah terkagum-kagum. Aku tidak
tahu bagaimana puisi buatannya, yang aku tau adalah dia pandai bicara, aku
penasaran diksi-diksi apa yang dia ciptakan dalam bait-baitnya. “Maulina
Fathudin”, juri memanggil namanya yang menunjukan ini saatnya Lina membacakan
ciptaannya. Kemudian dengan langkah penuh yakin dia maju. Dia sampai di depan,
kemudian membalikkan badannya ke arah juri serta peserta lain. Diikuti senyuman
kecil yang berarti besar bagi diriku. Kemudian tangannya mulai mengalun pelan,
diikuti nada-nada yang muncul dari bibirnya. Intonasi yang seakan mengubah
suasana ruangan itu, membawa aku terjebak dalam alunannya. Puisi bertema
nasionalisme yang dibacakan Lina itu berhasil menanam benih patriotisme dalam
dadaku. Dia semakin membuatku tenggelam dalam kekaguman. Walaupun aku tidak tau
bagaimana puisi dan cara membacanya yang benar, bagiku penampilan barusan
menyita perhatian, aku betah mendengar dan melihatnya.
Lina adalah peserta terakhir putri,
selanjutnya giliran peserta putra yang mana aku menjadi bagian dari peserta
itu. Penampil pertama dan kedua telah lancar melantunkan syair ciptaannya,
suara juri mengumandangkan namaku untuk menjadikanku sebagai pembaca puisi
ketiga. “it’s time to show, bukan saja ke juri, bahkan mungkin sebenarnya, aku
lebih berniat menunjukan penampilanku ini untuk Lina, orang pertama yang
percaya bahwa aku bisa”, gumam hatiku sembari aku menuju ke depan. Sepanjang
kaki melangkah ke depan juri, rasa gugup dan sekujur tubuh masih bergetar.
Namun semua itu lenyap, ketika mataku menatap seluruh peserta dan juri. Kemudian
seyakin-yakinnya aku merdeka menyuarakan karyaku,
Aktor Penggerak
Sejak
gema merdeka berbunyi,
Problematika
mencekik Ibu Pertiwi,
Berjuta
kontradiksi mengotori hati,
Negeri
agrarisku,
subur
berbudaya kegelapan,
Hantu
politik, rayu kebhinnekaan,
Hukum,
lebat ketidakpastian,
Membuat
kronis persatuan rakyat..
Kau
orang-orang berdasi eksotis !!
Kau
melahap kekayaan tanah kami !!
Kau
permainkan persatuan,
Dengan
racun dari lidahmu !!
Pancasila
terhempas kecurangan politik,
Nafsu
membabi buta, lalai akan sumpahmu..
Kami
butuh suara nyata !!
Bukan
keindahan musiman saat kampanye tiba,
Kami
butuh suara nyata !!
Menuntun
akhlak menjadi teladan,
Menguak
pahitnya tabir ketidakadilan,
Memburas
ketenaran kesan dewa uang,
Aktor
penggerak seluruh kalangan,
Agar
Ibu Pertiwi tenang,
dalam
surga kemerdekaan..
Begitulah rupa puisi yang aku baca. Aku
merasa lega, tak peduli dengan berapa nilai yang juri sematkan. Setelah aku
ucap terimakasih, aku kembali duduk, dan tepat sebelum aku duduk, Lina
mengirimkan senyum untukku. Sesederhana senyuman, itu berpengaruh besar bagiku.
Singkat cerita, tibalah pengumuman juara.
Tanpa diduga, aku dinobatkan sebagai peraih juara 2 lomba cipta baca puisi
FLS2N 2012. Aku sangat bersyukur dengan hasil ini, dan untuk keadaan hari ini.
Hasil ini menumbuhkan semangat dan kepercayaan diri untuk lomba berikutnya,
yaitu memperjuangan perasaanku yang di dalamnya terpahat nama Maulina.
“Selamat ya, Dit !”, ceria Lina untukku.
“Oh iya makasih ya. Aku sangat
berterimakasih karena ini berawal dari kamu yg mengusulkan aku untuk ikut”
“Iya, karena kamu tuh pasti bisa”
Hari itu sangat berpengaruh untuk hariku bersama
dia selanjutnya. Jika lombanya bertemakan keindahan dunia, mungkin juaranya
sudah bisa dipastikan yaitu aku. Karena pasti aku akan menciptakan sebuah puisi
yang terinspirasi dari keajaiban dunia, Maulina Fathudin.
Comments
Post a Comment