Selamat pagi,
selamat siang, selamat sore, dan selamat malam kerabat semua dimanapun berada.
aku sampaikan sapa dari pagi sampai malam karena aku tidak akan tau kapan
teman-teman semua akan membaca ceritaku ini. hehe. Semoga cerita-ceritaku bisa
menjadi bahan bacaan untuk teman-teman semua dan semoga bisa menghibur. Cerita
ini berdasarkan kisah nyata, hanya saja aku tambahi dengan sedikit bumbu-bumbu
supaya ceritanya lebih menarik. Jika ada kesamaan
nama tokoh, tempat kejadian, ataupun cerita, itu adalah
kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.
Namaku Aditya
Kurniawan. Aku kerap kali dipanggil Adit. Aku lahir tahun 1997. Tepat sebelum
tahun 1998 yang mana itu adalah tahun yang sangat bersejarah bagi Indonesia.
Tapi aku tidak akan membahas itu karena itu bukan ranahku. Nah, aku pertama
kali mengumandangkan jeritanku itu di sebuah kota di Jawa Tengah, yaitu Tegal.
Tegal itu terkenal dengan semboyannya yaitu "Tegal Laka-laka" yang
berarti bahwa Tegal tidak ada duanya. Ibuku adalah orang asli Tegal dan Bapakku
asli orang Temanggung. Aku mempunyai satu adik, namanya Safira Gita Salsabila.
Orang tua dan adikku itulah definisi dari yang namanya Rumah. Merekalah
alasanku untuk pulang saat aku pergi jauh. Oke, segitu saja dulu perkenalan
dariku. Sembari aku bercerita, nanti temen-temen semua juga akan tau siapa aku.
hehe..
Tahun ini adalah
waktunya aku memijakan kaki di SMA. Sudah waktunya aku mencium bau kisah-kisah
romantis dan non-romantis yang mana masa SMA ini seringkali diangkat menjadi
sebuah film. Siapa yang tau juga kan, barangkali kisah SMAku juga diangkat ke
layar lebar, haha. Jika ada film Adit 2012, mungkin tidak kalah bagusnya dengan
Dilan 1990. Menurut banyak orang, di masa inilah kehidupan yang paling indah.
Salah satu cerita yang aku garis bawahi adalah beberapa orang menemukan
jodohnya di SMA. Hal itu menempel dikepala dan secara otomatis memunculkan
pertanyaan "Apakah aku akan menemukannya di sini ? dan siapakah dia
?". Ahhh, pertanyaan tidak penting, tapi cukup membuat pening karena
terbentur penasaran. Yasudahlah, sambil jalanlah saja pasti akan ku temukan
dia.
Setelah Masa
Orientasi Siswa (MOS) aku lalui. Tahun 2012, aku resmi menjadi siswa SMA 3
Tegal. Salah satu SMA favorit di Kota Tegal. Aku bangga menjadi bagian dari
keluarga besar sekolah itu. Hari ini adalah hari pertama kali aku masuk
sekolah. Celana yang masih menyisakan banyak ruang di kakiku ini lumayan
membuatku tidak percaya diri, maklum, waktu celana ini dibuat, orang tuaku
masih memperhatikan, "Dibuat agak besar pak, biar bisa dipake lama",
kata ibuku ke penjahit saat itu. Lihat saja, aku pasti akan
mengecilkannya. Ada rasa senang yang tidak bisa dibendung, sebab inilah
pertama kali aku berangkat sekolah mengendarai motor. Bagi pemuda sepertiku
yang sering merasakan kaki mengayuh, kemudian naik pangkat, rasanya itu
seperti, "Siapa wanita pertama kali yang akan aku bonceng ?". Motor
yang aku kendarai adalah motor Honda Karisma, motor yang jika rusak tidak
menimbulkan kesedihan yang mendalam diraut muka bapakku karena motor ini memang
sengaja disiapkan untuk pemula sepertiku yang menurut bapakku akan ugal-ugalan
dijalanan. Dengan berdasarkan pemikiran tersebut, Bapak menghadiahi aku motor
Karisma yang semula miliknya, kemudian bapakku membeli motor baru. "Agar
tidak ugal-ugalan", inilah salah satu alasan mengapa aku diberikan motor
karisma saja(sebenarnya aku mengira motor baru itu untukku), hakhakhak. Keyakinanku
sangat kuat, sepertinya ini adalah bahasa alam. Takdir mempertemukan aku dengan
Honda Karisma, karena dunia tau, kalau aku adalah seorang laki-laki yang
berkarisma. Oke, masuk akal !.
Sebentar
mengemudi, sampailah aku di parkiran sekolah. Di lobi sekolah, aku bertemu
dengan seorang guru, di bajunya tertulis nama Pak Bagus, badannya tinggi besar
dan kumisnya itu makin menambah kesan tegas pada dirinya. "Mas, kumisnya
mau nyaingin saya ya ?", kata Pak Bagus dengan suara yang cukup membuat
gaduh seluruh rambut halus dibelakang leher. "Oh, haha enggak Pak",
ternyata aku adalah anak kelas 1 SMA yang kumisnya terlihat menyaingi seorang
guru di sekolah. Mungkin jika aku tidak menggunakan seragam sekolah, aku bisa
dipanggil alumni. Sebelumnya tidak ada yang menegurku begitu, jadi aku kira
kumisku ini tidak menohok penglihatan seseorang, ternyata aku salah.
Kesimpulannya adalah aku harus mengendalikan pertumbuhan kumisku itu.
Aku berjalan
menuju kelasku dengan harapan tidak ada lagi yang membahas mengenai kumis,
cukup satu saja itu sudah memunculkan seribu kekhawatiran dipikiran. Kemudian
sisi lainku membuat simulasi dialog, apabila ditengah perjalanan aku berjumpa
dengan seseorang yang membahas kumisku.
Skenario 1
"Mas,
kumisnya kok tebal banget ?"
"haha, oh
soalnya aku habis main teater yang tokohnya harus berkumis"
Skenario 2
"Mas,
kumisnya kok tebal banget ?"
"ah, engga
kok, mungkin halusinasi ibu/bapak aja"
Skenario 3
"Mas,
kumisnya kok tebel banget ?"
"Aku siapa
ya ?"
Skenario 4
"Mas,
kumisnya kok tebel banget ?"
"Oh ha ha
ha. Eh itu uang siapa jatuh ?"
Ketika akan
beranjak ke skenario 5, sampailah aku di kelas. Akhirnya aku duduk, dan
syukurlah tidak terdengar kata kumis lagi. Aku cukup nyaman dengan suasana
kelas karena memang banyak juga rekan SMP ku yang masuk SMA 3 Tegal yang
kemudian sekelas. Kelasku ini X-2 namanya. Akhirnya seorang guru masuk dan
mulailah siswa di dalam kelas memperkenalkan namanya. Tanpa aku duga, sama
sekali tidak pernah terpikirkan, sayup sayup terbesit hal ini pun tidak.
Ternyata oh ternyata oh ternyata, ada temanku 2 orang yang bernama Aditya. Nama
Aditya ini sungguh sangat banyak di hamparan negeri khatulistiwa ini. Mungkin
jika pemerintah ingin mengurangi jumlah populasi penduduk di Indonesia,
pemerintah bisa menuliskan nama "Aditya" di dalam Death Note.
"Ini
berarti enaknya ibu panggil kalian dengan nama belakang saja ya", itu
menurut guruku. Pasti teman-teman kelasku akan memandang fenomena ini dengan
reaksi yang berbeda.
Aku yakin,
munculnya nama Aditya sebanyak 3 orang dikelas ini akan menumbuhkan rasa
kesenangan tersendiri dalam hati teman-teman kelasku yang lain. Ya, sebagai
bahan candaan. Aku sedikit senang, karena ternyata teman-teman tidak memanggil
trio Aditya dengan sebutan yang aneh untuk memanggil satu per satu. Adit Kur
untuk aku, Adit Kus untuk Aditya Kusuma, dan Adit Mahar untuk Aditya Mahardika.
Cukup lega, ini patut disyukuri, karena panggilan ini akan melekat selama 3
tahun.
Ternyata belum
berakhir sampai disitu, panggilan Adit Kur hanya berlaku untuk teman-teman yang
perempuan saja. Dunia perlaki-lakian selalu punya cara sendiri untuk
memperkeruh keadaan, wkwk. Nama Adit masih terdengar dari mulut laki-laki
dikelasku. Hanya ada semacam trade mark yang mereka pasang setelah
kata Adit, yaitu Kumis. Adit Kumis. Sangat 'epic'. Aku tarik beberapa
kesimpulan.
Pertama, ketika aku sedang bersama Adit-adit lainnya, kemudian teman-temanku dilanda kegabutan yang sangat, pasti mereka ingin mencari hiburan, maka teman-temanku akan memanggil "Adit !!". Respon kita bertiga pasti menoleh secara bersamaan. Apalagi jika secara kebetulan kami bertiga menjawab "Apa ?". Disitulah letak kesenangan yang didapat oleh seseorang yang memanggil "Adit" itu.
Kedua, ketika teman-teman ingin serius berbicara denganku, namun aku sedang bersama Adit-adit lainnya. Mereka tidak akan memanggilku Adit, tapi mereka akan memanggilku Kumis. "Mis mis !!"
Satu pertanyaan ! Kenapa aku tidak dipanggil Aditpati saja ? wakwakwak. Terpikirkan olehku untuk membumihanguskan seluruh kumisku, tapi setelah melihat tawa teman-teman dikelas yang meluruhkan seluruh sekat diantara pribadi masing-masing sehingga kami semua menjadi akrab, aku mengurungkan niatku. Tidak jadi ku bumihanguskan, hanya akan aku atur saja ketipisannya. Sebuah anugerah bisa satu kelas dengan orang-orang yang tentunya mempunyai keunikan. Sudah pasti inilah keluarga baruku. Cerita-cerita besarku tentu akan bermunculan di kelas dan tentunya sekolah ini. Aku optimis akan menggores tinta yang manis di atas kanvas putih abu-abu..
Hari yang begitu
menyenangkan. Sesampainya di rumah, aku tak lupa taruh alat pencukur kumis di
samping cermin di kamarku. Semenjak hari itu aku sangat memperhatikan tumbuh
kembang kumisku ketika aku hendak bepergian. Aku jadi paham betapa pentingnya
sebuah penampilan. Aku patut bersyukur karena aku sempat menjadi bagian dari
tawa teman-temanku. Sebuah panggilan memang sangat penting untuk memulai
sebuah pertemanan. Panggilan ini mungkin saja bisa berkumandang selamanya, atau
mungkin akan muncul panggilan baru untukku. Semuanya tergantung dari peran yang
akan aku mainkan di atas panggung bernama bumi.
Comments
Post a Comment